MASIH terngiang dalam ingatan, ketika sekelompok Pemuda pada 1928 melakukan sebuah ritual kebangsaan untuk menghimpun kebhinekaan yang termaktub dalam Sumpah Pemuda, yang isinya "Kami Putra putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu Tanah Air Indonesia, Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa satu bangsa satu Indonesia, Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa Persatuan, bahasa Indonesia". Sebuah maklumat yang masih memiliki akar ruh kerakyatan hingga sekarang. Meskipun benderanya disobek -sobek oleh tangan pejabatnya sendiri, pulaunya satu persatu digerus oleh abrasi pembiaran kapitalisme bangsa lain sehingga hampir senasib dengan sipadan dan ligitan, apalagi di ujung perbatasan dengan negara lain.
Hampir tiada perhatian.., tinggal bahasanya yang masih tersisa meskipun ada perasaan rendah diri terhadap bahasa asing yang menjadi bahasa gaulnya remaja masa kini karena mungkin mental dijajah sekian abad, atau begitunsuperioritasnya bahasa Internasional tersebut dalam menyebarkan pengetahuan dan tekhnologi yang ironisnya jika negara jajahan Inggris maka akan lumrah kita dapati penduduknya fasih berbahasa Inggris sedangkan pengalaman tertindas dijajah lebih dari satu penjajah mulai dari Portugis, Belanda, dan Jepang tidak selaras dengan canggihnya berbahasa Internasional kita minimal nbahasa para penjajah tersebut..
Pertanyaannya apakah karena kebencian yang luar biasa sehingga rakyat ini tak sempat bahkan tak sudi untuk belajar bahasa penjajah itu, atau memang otak kita yang tak terbiasa dengan kata-kata yang sulit, sehingga perasaan nasionalisme kedaerahan dan persatuan Indonesia mengalahkan swemangat untuk belajar bahasa penjajah itu. Dan ada yang paling miris juga yakni nasib bahasa daerah kita yang tergerus oleh bahasa asing maupun bahasa persatuan kita “bahasa Indonesia” sendiri.
Padahal jumlah 514 bahasa daerah yang merupakan akar historis adanya suatu negeri bernama Indonesia ini, yang tersisa dan agak terselamatkan tinggal beberapa “ratus “ bahasa daerah saja. Galaunya suatu negeri cerminan galaunya identitas akar kebahasaan kita, bahasa ibu ( daerah).
Dimana pemerintah?
Sebagai bahasa yang pertama dipelajari di lingkungan keluarga, bahasa daerah memainkan peran penting dalam proses pendidikan anak bangsa. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran aksara untuk para penyandang buta aksara. Bahasa daerah bermanfaat sebagai sarana memberantas buta aksara. Ada kecenderungan penyandang buta aksara tidak menguasai bahasa Indonesia. Namun, pada jenjang pembelajaran keaksaraan selanjutnya perlu diarahkan penggunaan bahasa pengantar bahasa Indonesia ( Dendy Sugono). Bahkan, untuk merasu kebatinan umat perlu kiranya dalam Khutbah Jumat ataupun khutbah nikah dan Upacara Bendera perlu disisipkan dialek bahasa daerah (bangka) untuk melestarikan kebudayaan berbahasa ini bahkan dengan khutbah atau ceramah berbahasa Daerah lebih mengena dan terasa akrab ditelinga meskipun ada pro daan kontra masih dalam tahap uji coba, namun untuk pelestarian maka perlulah dicoba.
Setali tiga uang dengan bahasa Indonesia, kita cermati salah satu hal yang setiap tahun terjadi, yakni ujian nasional (UN), terutama mata pelajaran Bahasa Indonesia. Apabila melihat realitas pasca-UN, baik tingkat dasar maupun tingkat menKita cermati salah satu hal yang setiap tahun terjadi, yakni ujian nasional (UN), terutama mata pelajaran Bahasa Indonesia. Apabila melihat realitas pasca-UN, baik tingkat dasar maupun tingkat menengah, rata-rata nilai Bahasa Indonesia tidak memenuhi standar kelulusan yang dipersyaratkan.
Dalam konteks itu, ada apa sebenarnya dengan pendidikan bahasa Indonesia di Indonesia? Apakah karena anggapan sepele terhadap bahasa kita sendiri? Sangat kompleks ketika kita akan mencari tahu jawaban atas semua pertanyaan itu. Tanpa bermaksud mengesampingkan persoalan bahasa Indonesia tersebut, biarlah hal itu menjadi wilayah mereka yang memiliki pemangku kebijakan yang relatif kuat dan menyeluruh sesuai dengan konteks bahasa Indonesia yang berskala nasional. Maka, d omain bahasa secara garis besar yang terbagi atas tiga, yakni bahasa daerah atau bahasa ibu, bahasa nasional (baca: bahasa Indonesia), dan bahasa asing. Bahasa asing yang dimaksudkan, yaitu bahasa yang secara geografis berasal dari luar wilayah Indonesia, dapat berupa bahasa Inggris, Arab, Jepang, dan lain-lain.
Domain bahasa itu memiliki peran dan fungsi yang sama pentingnya apabila dikaitkan dengan persoalan jati diri. Sayangnya, apa yang terjadi saat ini seperti ada perlakuan diskriminatif atas domain bahasa tertentu. Perlakuan tersebut terutama terjadi pada domain bahasa daerah. Perlakuan itu tidak hanya yang bersifat kebijakan, tetapi lebih banyak disebabkan oleh sikap bahasa penuturnya. Sikap berbahasa yang diharapkan atas bahasa daerah sebaiknya atau idealnya adalah sikap positif.
Kritik sosial Bujang Begagil
Terkadang, sikap berbahasa penutur bahasa daerah sendiri pun cenderung negatif. Hal itu dapat diketahui dari keengganan mereka berbahasa daerah. Mereka akan memilih kata asing yang terlihat lebih intelek atau lebih modern yang terkadang secara konseptual tidak dimengerti oleh mereka secara pasti. Itulah kelatahan masyarakat kita yang memunculkan fenomena budaya nginggris, pokoknya asal berbahasa asing (Inggris), termasuk fenomena di Bangka Belitung. Pada saat ini telah hadir Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan.
Khusus tentang bahasa, di dalam undang-undang tersebut telah diatur bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Seiring era otonomi daerah, ada tanggung jawab moral pada pemerintah daerah untuk secara aktif melakukan pembinaan terhadap bahasa daerah di wilayahnya. Bagaimana dengan di Provinsi kita? Kita menunggu kiprah para pemegang kebijakan, khususnya soal kebudayaan, terutama soal bahasa, untuk “sekadar” melirik keberadaan bahasa daerah.
Jangan sampai kita menyesal tanpa melakukan antisipasi sehingga tidak sampai terjadi ada bahasa daerah di Bangka Belitung kelak hanya tinggal nama. Babel perlu untuk maju dan berkembang seperti halnya daerah lain. Akan tetapi, agar tidak semua telanjur, ada baiknya para pemangku kebijakan di daerah mencermati moto globalisasi, yakni berpikir secara lokal, bertindak secara global (think locally, act globaly), supaya pembinan terhadap bahasa daerah terealisasi. Kita boleh menjadi bagian pemain di dalam modernitas itu, tetapi tetap kukuh dengan nilai-nilai kebangkaan. Dengan demikian, identitas kebangkaan kita tetap dapat dipertahankan
Dengan revitalisasi bahasa daerah otomatis akan meningkatkan daya hidup dan daya ungkap bahasa daerah dalam memperkaya kebudayaan Indonesia. Maka, kritik dan kerja sosial budaya yang telah dipertunjukkan oleh Talk show Bujang Begagil di Jalan Pemuda Sungailiat yang siaran langsungnya dapat dinikmati lewat RRI setiap Jumat malam Sabtu menghidupkan kembali khazanah kebudayaan kita lewat sentilannya yang menggelitik namun juga mencerahkan.
Dan wadah ini bisa digunakan sebagai ruang rehat budaya kita untuk “nganggung” ngobrol sejenak mengbegagilkan ke- wak udak -kan kita sekaligus melestarikan bahasa ibu kita. Siapa tahu muncul pemimpin yang merakyat lewat Bentara Budaya ala bangka ini ? Bener ape ndak..?Cubelah ikak fikier...?Wallahua’lam.. (*)
Editor : dedypurwadi
Source : bangkapos.com