Pilgub Babel 2017 akhirnya memastikan empat pasang kandidat yang
akan berlaga pada Febuari tahun depan. Gairah pertarungan merebut
singgasana negeri serumpun sebalai ini kian berangsur mencapai
kulminasi. Ritme kampanyenya pun sudah mulai menggeliat. Probabilitasnya
ditaksir mulai dari metode akademisi, sampai obrol warung kopi.
Emak-emak juga ‘tak luput bergosip politik sembari melepas penat
mengurus pekerjaan rumah.
Bermodal militansi, tim sukses begitu
gigih menyasar lumbung-lumbung suara produktif; berpacu menggenjot
elektabilitas kandidat usungan. Maklum. Hajatan Pilgub ini—apalagi
diselenggarakan secara serempak—memang menguras partisipasi rakyat
sebagai pemilik demokrasi. Apalagi gelaran politik glamornya, yang
dipentaskan di setiap ruang komunikasi massa, kian memompa keriuhan
politik lokal yang melenggang di arena demokrasi. Biasanya, hiruk
gelaran demokrasi ini sampai menyeret publik ke pusaran polarisasi, pula
membius nalar kritis: bahwasanya selalu tersisip hidden agenda dalam
hidangan politik praktis. Alhasil, terciptanya kondisi demikian malah
justru menyempitkan ruang politik rakyat. Rakyat tersekat dalam
fragmentasi politik elite. Politiknya terjangkit pragmatisme. Cita-cita
komunalnya ditumbalkan untuk kekuasaan segelintir manusia yang mengultus
diri sebagai elite politik. Parahnya lagi, cuma-cuma untuk
[mengamankan] bisnis para pemodal kampanye.
Quo Vadis Demokrasi
Jelang hari “H”, gerilya propaganda politik kian gencar menjajakan
retorika provokatif, pula sepaket pencitraan atraktifnya. Berperan
sebagai muadzin, pemanggul karung tapioka, dan macam lelakon lain yang
segera dihidangkan, laris mengelabui keluguan rakyat.
“Dunia ini
panggung sandiwara.” Begitu, Ahmad Akbar pertama kali melagukan dinamika
kehidupan di era ’70-an. Namun dalam dunia politik praktis, magis
sandiwaranya lebih memikat, pun mengikat. Tanpa sadar, penonton acap
terlena nuansa glamor pentas. Mabuk lakon “panggung sandiwara”. Terbius
imajiner pelakon. Rakyat pun diperdaya. Digiring ke hilir pentas. Namun
luput—karena memang sengaja dikelabui—dengan hulu (substansi-pen)
pementasan.
Inilah potret politik negeri. Rakyat tidak pernah
diposisikan sebagai subjek, melainkan objek. Partisipasinya di
gelanggang demokrasi cuma ditakar berdasar kalkulasi politik;
popularitas dan elektabilitas. Politiknya sekadar dihitung berupa angka.
Tapi ‘tak pernah diperhitungkan (political bargaining-pen) selayak
bunyi jargon usang demokrasi: dari rakyat, untuk rakyat, demi rakyat.
Padahal, jika mengacu teori demokrasi deliberatif, hakikat demokrasi
hendaklah tidak diterjemahkan sekadar menyediakan “bilik suara” untuk
rakyat mengejawantahkan hak berpolitik. Deliberatif yang artinya
musyawarah, justru harus menghadirkan ruang komunikasi dialogis antara
rakyat dengan pemangku kebijakan, supaya sajian demokrasi sehat dapat
dinikmati secara proporsional.
Reiner Forst, seorang filsuf
politik asal Jerman, berkata: “Demokrasi deliberatif tidak
menitikberatkan jumlah kehendak perseorangan, juga bukan kehendak umum,
untuk menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan
politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan
diskursif-argumentatif.”
Dengan demikian, demokrasi deliberatif
sederhananya dimaknai sebagai tematisasi persoalan dalam ruang diskursus
publik dengan memorsikan aspirasi rakyat sebagai variabel rumusan
kebijakan. Artinya, demokrasi deliberatif berupaya mengintensifikasikan
partisipasi warga negara di alam demokrasi melalui diskursivitas yang
mengedepankan pemahaman intersubjektif, agar terbangun komunikasi
integral antara rakyat sebagai partisipan, dan pemerintah sebagai
pemutus kebijakan, sehingga dapat melahirkan konsensus kebijakan yang
legitim; dari rakyat dan untuk rakyat.
Berangkat dari pemahaman
tersebut, politik rakyat sudah layak diporsikan otoritasnya dalam ruang
bernegara sebagai ujud aktualisasi sila keempat Pancasila: Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Hal ini dipandang perlu guna mengikis kesan
elitis demokrasi yang selama ini dinilai hanya milik sebagian orang atau
kelompok (oligarki), apalagi praktiknya selalu bicara soal rebutan
kursi legislatif maupun eksekutif. Padahal, dimensi demokrasi tidaklah
sesempit itu. Namun karena abainya penyelenggara negara mengedukasi
rakyatnya perihal esensi demokrasi, alhasil memunculkan miskonsepi
terhadap demokrasi itu sendiri. Lebih buruk lagi, malah kontraproduktif
dengan cita-cita demokrasi yang ingin mengangkat derajat politik rakyat
di mata negara. Akibatnya legitimasi demokrasi tumbuh ‘tak bernas. Hanya
menyisakan buah busuk yang suka-tidak-suka harus dilahap rakyat.
Manifestasi Demokrasi Rakyat
Buta paling berbahaya adalah buta politik. Begitu, premis yang mulai
akrab terdengar sekitar dua tahun belakangan, pasca Pemilu 2014. Hal ini
bisa dibenarkan, mengingat hajat hidup di negara demokrasi merupakan
hasil olah demokrasi itu sendiri. Apatis demokrasi, sama saja menjungkal
diri sendiri ke jurang kezaliman politik praktis. Karena itulah,
politik rakyat jangan lagi terpenjara di ruang gelap demokrasi, supaya
tidak menambah lelembar kisah kelam penegakan supremasi politik rakyat
di negeri ini, oleh karena terpikat laku rayu politik elite yang cuma
mengandalkan lip service belaka. Elok di tataran redaksional. Namun
nihil implementasi.
Maka, agar terciptanya konfigurasi politik
berkesinambungan antara negara dengan rakyat, negara mesti mengabsahkan
supremasi politik rakyatnya secara otoritatif. Jika jalin relasi ini
bisa terbina, kewajiban negara memayungi rakyatnya yang masih bias arti
bernegara, dapat terkonstruksi ulang sesuai amanat UUD ’45, termasuk
pula mewariskan genom politik unggul kepada generasi penerus bangsa.
Negara juga jangan membatasi fungsinya sebagai penyelenggara, tok. Namun
harus turut aktif mengasah pendidikan politik rakyatnya, supaya
pemahaman rakyat tentang esensi demokrasi semakin bernas; mengaya peran
politik rakyat dalam ruang otoritas publik. Dalam kaitannya dengan
Pilgub Babel 2017, rakyat Babel juga harus diinjeksi asupan politik yang
sehat. Bukan sekadar menjadi penyemarak demokrasi yang riuh di hilir
pementasan, namun kosong substansi di hulu.
kalaulah diasup
pendidikan politik yang sehat, rakyat sebagai pemilih takkan lagi
tercebur dalam kubangan silogisme klasik: “Pilihlah berdasarkan hati
nurani.” Rakyat akan mengandalkan akal sehat. Memilih bukan karena
terpikat retorika politik atau gombalan lembaga survey yang cerdik
menyulap elektabilitas kandidat. Tapi mengutamakan rekam jejak dan
konsep kerja strategis—bersifat multiplier effect—yang ditawarkan
kandidat. Tentu harus rasional dan terukur sesuai prioritas masalah yang
diwacanakan.
Rakyat yang telah paham esensi demokrasi tersebut
akan cekat berpolitik. Artinya, politik rakyat yang biasanya sekadar
dihitung berupa angka, tok, di setiap gelaran demokrasi, telah naik
derajatnya selaku aktor yang turut menentukan masa depan demokrasi itu
sendiri. Rakyat pun dapat bermetamorfosis menjadi pemilih cerdas. Cerdas
memainkan peran politik demi terciptanya demokrasi bermartabat. Cerdas
pula menunggangi demokrasi untuk kemanfaatan bersama (baca: orang
banyak).
Maka jadilah pemilih cerdas. Karena cerdas berpolitik
berarti cerdas mengartikan perbedaan mazhab politik sebagai ujud
romantisme berdemokrasi. Bukan malah larut dalam anarkisme politik.
Selamat berdemokrasi. Salam cerdas berpolitik.
Babel Pos, 29 Oktober 2016