Ini foto Depati Amir, pahlawan masyarakat Melayu Bangka. Meski secara resmi ia bukan seorang Depati, lantaran secara tegas ia menolak jabatan yang diberikan oleh pemerintah kolonial tersebut setelah ayahnya, Depati Bahrin, yang juga seorang pejuang, wafat, namun karena masyarakat Bangka menghormatinya sebagai sosok pemimpin yang kharismatik, sekaligus panglima perang tangguh yang selama puluhan tahun berjibaku memimpin gerilya rakyat Bangka yang notabenenya bukanlah pasukan militer, gelar Depati itu pun secara tak langsung lekat-menyatu dalam diri seorang Amir, sebagai penghormatan atas dedikasi dan perjuangannya.
Selain sebagai panglima, ia juga dikenal sebagai pendakwah agama Islam. Kegiatan dakwahnya tercatat sejak ia bersama adiknya, Hamzah, diasingkan ke P. Timor, NTT, setelah berhasil ditangkap oleh pasukan Belanda. Ia ditempatkan di sebuah desa yang disebut desa Air Mata, sebagai refleksi penderitaannya saat menjadi tahanan Belanda di negeri yang baru ia kenal; jauh dari sanak keluarga maupun kerabat seperjuangan.
Dalam pengasingannya itu, Depati Amir berhasil meng-Islam-kan masyarakat setempat, dan sembari juga mengajarkan ilmu pengobatan tradisional Melayu. Selain itu, pejuang P. Timor pun kerap meminta petuahnya guna mengatur siasat dan strategi perang melawan Belanda di sana. Sampai akhir hayatnya (1895), ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya di bumi Bangka, kampung halaman di mana ia lahir dan memulai perjuangan. Kabar mengenai sanak keluarganya di Bangka pun tak pernah ia ketahui lagi sejak kepergiannya.
Setelah Bangka-Belitung (Babel) menjadi provinsi pada tahun 2000, pemerintahan Babel beserta pemangku adat daerah kami berusaha mengusulkan gelar pahlawan nasional kepada Depati Amir. Meski usaha itu nampaknya harus pupus, sebab syarat-syarat yang belum bisa terpenuhi, yaitu perjuangan yang harus bersifat nasional (ke-Indonesiaan), catatan perjuangan yang tidak boleh putus, dan literatur sejarah perjuangan yang harus lengkap.
Kisah perjuangan Depati Amir dianggap masih bersifat lokal, dan catatan mengenai perjuangannya pun, sejak ia diasingkan ke P. Timor sangat minim dan tidak tertulis, sehingga usulan itu pun ditolak oleh pemerintah.
Namun, meski secara formal ia belum bergelar pahlawan nasional, bagi masyarakat Bangka-Belitung, Melayu khususnya, ia adalah seorang pejuang yang nama dan kisahnya, pun semangat juangnya, terus diwarisi ke setiap generasi. Sebagai penghormatan terhadap dedikasi dan perjuangannya teruntuk masyarakat Bangka-Belitung, nama Depati Amir pun kini menjadi nama Bandara Provinsi Bangka-Belitung.
Toh, seorang Amir pernah menolak jabatan Depati yang diberikan Belanda kepadanya, agar manut dan tidak melawan pemerintah kolonial. Namun ia tak pernah tergiur kemewahan tahta. Apalah artinya hidup bertahta, bila hanya menjadi anjing penjajah. Bagi Amir, hidup sebagai buronon penjajah, meski pahit dan tak terhitung penderitaan yang mesti dialami, lebih terhormat.
Lahir sebagai putera Bahrin yang mewarisi kepemimpinan ayahnya, dan mati sebagai seorang Amir yang kisah perjuangannya melegenda dan menjadi panutan generasi-generasi muda Melayu masa kini.
Andai seorang Amir masih hidup pun, tak berhasrat ia mengusulkan dirinya menjadi pahlawan nasional. Sebab menjadi pahlawan bukanlah cita-cita yang haus pengakuan, namun dedikasi hidup untuk berjuang dalam diam dan pengasingan.
Kami Melayu pun punya pahlawan!