Membangun Masyarakat Sadar Politik

Usai sudah hajatan demokrasi melalui Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 2014. Sayup terdengar obrolan bertema politik yang menjadi trending topics semasa kampanye. Geliat politiknya pun, kian surut. Pada 9 April kemarin, rakyat telah menentukan wakilnya yang dipercaya mampu meneruskan estafet perjuangan di parlemen. Dan semoga, perjuangan yang dititipkan itu, dapat menjadi pemecah kebuntuan rakyat yang sedang mengalami krisis multisektor. 

Pemilu yang menjadi instrument bagi rakyat dalam mengejawantahkan hak untuk berpolitik, seyogyanya adalah milik bersama. Pemilu lahir dari rakyat, dan pemilu bertujuan demi dan untuk kepentingan rakyat. Begitulah komitmennya. Sehingga, menjadi motor penggerak dalam mengaktualisasikan cita-cita UUD 1945, pemilu diharap mampu memaksimalkan fungsi dan perannya untuk menciptakan perubahan bagi bangsa, negara, dan rakyat. Tentunya secara solutif dan produktif.

Seorang pakar ilmu politik berkebangsaan Amerika, J. Austin Ranney (1920-2006) menuturkan, salah satu kriteria (indikator) pemilu bisa dikatakan demokratis ialah kejujuran dalam perhitungan suara dan pelaporan hasil (accurate counting of choices and reporting of results).

Oleh sebab itu, penting partisipasi dari warga negara untuk mensukseskan pemilu. Selain berharap mendulang manfaat pemilu secara maksimal, juga dapat memperkuat ukhuwah soliditas sesama warga negara. Sehingga, pemilu bersih dari praktik-praktik yang berpotensi merusak proses demokratisasi bangsa yang sedang berjalan saat ini. Karena bisa jadi, pemilu yang merupakan manifestasi dari proses demokratisasi, dapat menjadi tolak ukur, lamban atau cepatkah? Laju pembenahan bangsa ini menjadi bangsa demokratis yang beradab.

Maka, perlu disadari oleh masyarakat dari semua lapisan sosial, untuk tidak terjebak kedalam permainan (oknum) elite politik yang menjadikan pemilu hanya sebagai ajang kompetisi antar golongan atau antar partai politik, tok. Tertawa jika menang, dan menertawakan siapa saja—lawan politik—yang kalah. Tidak. Itu salah! Demokrasi yang sehat tidak dibangun dengan cara demikian. Siapa saja yang mementaskan demokrasi dengan cara rusak seperti itu, hanya akan memperlemah posisi tawar (bargaining position) demokrasi dimata masyarakat, sebagai sistem politik yang mengedepankan solusi dalam menjawab berbagai tantangan negara di era globalisasi.

Jika pemilu memang benar dari kita dan untuk kita? Jadilah masyarakat cerdas yang tidak perlu ikut arus dan menjadi bagian dari golongan politik yang mengarti-sempitkan pemilu. Menjadikan pemilu hanya sekadar ajang gaya-gayaan bagi kaum elit politik, bahkan lebih parah lagi, saling mencerca antar golongan, mengklaim golongannyalah yang paling benar dengan menghardik golongan lain sebagai perusak, atau malah saling "gontok-gontokan".

Jadilah masyarakat cerdas politik, yakni masyarakat yang cerdas dalam mengartikan dan menempatkan politik secara proporsional, agar tercapainya tujuan politik masyarakat secara komunal melalui pemilu.


Demokrasi sehat melalui pemilu
Secara singkat, demokrasi diartikan sebagai sistem politik yang dianut oleh suatu negara dalam menjalankan aktivitas politiknya. Negara yang menganut demokrasi adalah negara yang memberi ruang atau akses atau porsi kekuasaan bagi warga negaranya untuk berpartisipasi dalam menggerakan roda pemerintahan. Bisa dari jalur legislatif atau eksekutif. Demokrasi juga menjamin hak-hak dari warga negara. Hak untuk berpolitik atau hak untuk "bebas" berekspresi, misalnya.

Mengenal demokrasi itu penting, guna menciptakan iklim berdemokrasi yang sehat. Dan, demokrasi yang sehat itu hanya bisa dicapai jika masyarakatnya sudah melek—mendapatkan pendidikan politik yang memadai, benar, dan tidak salah kaprah. Setidaknya melalui pemilu kemarin, masyarakat berproses—belajar mendewasakan wawasan politiknya untuk lebih mengenal, apa itu politik? Meskipun harus dengan cara otodidak a.k.a coba-coba. Karena harap dimaklumi, negara (dalam hal ini adalah penyelenggara pemilu) lepas tangan, enggan mengajarkan pendidikan politik kepada masyarakat. Sehingga, mudahnya menerjemahkan politik dengan berbagai cara (multitafsir), tergantung bagaimana masyarakat tersebut dikondisikan. Tak ayal, masyarakat awam politik rentan terinfeksi politik uang, yang selalu berpikir; “jika 'tak dapat duit, kenapa harus memilih?” Dan lebih parahnya lagi, kerap dijadikan tumbal politik demi pemenangan pemilu oleh golongan atau partai politik yang tidak bertanggungjawab. Sebagai contoh; lihat saja aksi saling hujat, saling klaim, atau saling bentrok antar simpatisan parpol dimasa kampanye kemarin. Ah! Bagaimana bisa membangun demokrasi dengan cara-cara yang demikian? Yang selalu saja menganggap perbedaan sebagai musuh yang harus dilawan. Bahkan sampai berdarah-darah.

Demokrasi adalah cara untuk menghargai perbedaan. Membungkusnya dengan prinsip: satu kesatuan, satu perjuangan. Oleh karena itu, demokrasi pada dasarnya sangat memahami perbedaan dan menjadikan perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan tekad mempersatukan. Selaras dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika; walaupun berbeda suku, agama, dan bahasa daerah, tetapi jiwanya tetap satu, yakni Indonesia. Dan oleh karena itu, sudah seharusnya kita sebagai warga negara kompak, dengan mengatasnamakan Indonesia, meyakini:

Perbedaan-perbedaan itu adalah otak untuk menggagas solusi demi kemajuan negara;

Perbedaan-perbedaan itu adalah tangan untuk menggenggam erat kesatuan sebagai satu bangsa;

Perbedaan-perbedaan itu adalah kaki untuk mengayuh cita-cita UUD 1945 yang demi rakyat dan untuk rakyat;

Jadi, marilah bersama-sama membangun demokrasi yang sehat, bermartabat, dan berdaya manfaat, bagi kelangsungan masa depan bangsa, negara, dan rakyat.

Damai pemilu, damainya demokrasi
Paska Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif kemarin, aktivitas masyarakat mulai berangsur normal. Pasar mulai menjalani rutinitasnya yang sesak dan bising. Bank mulai sibuk melayani nasabah dengan berbagai keperluannya. Kantor-kantor pemerintahan mulai beroperasi dengan padat jadwalnya. Dan berbagai macam aktivitas lainnya.

Semakin senyapnya riak politik yang bergemuruh dimasa kampanye, pertanda masyarakat seolah lupa dengan hajatan demokrasi lima tahunan tersebut. Atau, mungkin saja tidak mau berlarut dalam pusaran politik yang cenderung berpotensi menghisap masyarakat kedalam aksi radikalisasi politik, yang hanya mengatasnamakan kepentingan golongan atau partai politik tertentu saja. Karena harus diakui, masih ada saja pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu kemarin. Sehingga, dengan se-abrek dalih dan alasan, harus memuluskan berbagai cara demi memperoleh kekuasaan.

Masyarakat tidak lagi bodoh. Masyarakat akan terus belajar memilah dan memilih seiring dengan pertumbuhan demokrasi yang makin dewasa. Karena, jika negara telah kehilangan fungsinya—lemah daya—untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat. Maka, masyarakatlah satu-satunya tonggak harapan.

Meskipun harus diakui dengan mengernyitkan dahi. Masyarakat yang tergopoh-gopoh belajar pendidikan politik secara otodidak itu, kian hari, kian berusaha tampil cerdas dalam membangun demokrasi. Semoga saja masyarakat bisa berdamai dengan demokrasi, dan mempergunakannya demi kemanfaatan bersama. Tentunya dengan cara yang benar, sehat, bermartabat, dan selaras dengan prinsipnya yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga, masyarakat tidak lagi mudah terjebak atau tergiring dengan manuver-manuver politik dari oknum yang malah akan memperlemah atau mereduksi esensi dari demokrasi.

Mari, atas alasan-alasan yang demi perubahan itu, mari kita memulai langkah damai melalui pemilu, dan meneruskan perjuangan rakyat dengan sikap saling mengayomi, menjaga, dan saling membagi manfaat satu sama lainnya. Jangan karena berbeda bendera partai atau berbeda mazhab golongan, kita harus mencerai-beraikan ke-Bhineka-an kita sebagai satu bangsa. Apapun bendera partainya atau mazhab golongannya? Kita tetap berbangsa satu, berbahasa satu, berideologi satu, sebagai rakyat Indonesia. Hidup rakyat!

Sumber: Bangka Pos
Share this post :
Comments
0 Comments

Post a Comment

 

Copyright © 2011-2017. BANGKA BELITUNG KREATIF