Menakar Koalisi Parpol Islam

Bangka Pos edisi 3 Mei 2014

Oleh : Yulian Andryanto
Pegiat Sosial Politik di Yayasan Bangka Belitung Kreatif

 
Poros Tengah bangkit dari kubur sejarah. Begitulah bisik wacana di berbagai media massa; lokal dan nasional. Meski samar, derap pergerakannya kentara terendus. Ekspektasinya pun kian menggelayuti parpol-parpol Islam. Apalagi dengan memuncaknya elektabilitas sederet parpol nasionalis pada pemilu legislatif 9 April lalu, seolah memantik isyarat; supaya menajamkan tensi wacana untuk segera membentuk poros tandingan tersebut.

Sejenak meneropong lahirnya Poros Tengah lima belas tahun silam, tentu tidak lepas dari peran Amien Rais selaku penggagasnya (inisiator). Legiun koalisi dibentuk sebagai upaya menjahit soliditas antar parpol Islam di parlemen. Selain itu, Poros Tengah juga dianggap berhasil mendamaikan ketegangan politik antara kubu Habibie dengan kubu Megawati. Maklum, kala itu si “moncong putih” mendominasi parlemen, karena menjadi partai pemenang pada pemilu pertama pasca reformasi dengan memperoleh 34 persen suara nasional. “Poros Tengah dibentuk untuk mencairkan pertentangan politik antara kubu Habibie dengan kubu Megawati,” imbuh Amien Rais yang kini menjabat Ketua Majelis Pertimbangan PAN.

Sukses! Poros Tengah membangun mahligai kekuasaannya dengan mengusung dan menghantarkan K.H. Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur menjadi Presiden terpilih oleh MPR pada 20 Oktober 1999. Meskipun pada akhirnya, Gus Dur dimakzulkan dari kursi kepresidenan oleh teman koalisinya sendiri setelah kurang dari dua tahun memimpin. Dan lalu digantikan oleh wakilnya, Megawati Soekarnoputri, menjadi Presiden RI ke-5.

Ambiguitas
Kini, Poros Tengah digadang untuk tampil kembali di pentas politik nasional setelah satu dekade senyap dari ruang publik. Adapun alasannya, karena minim sekali perolehan suara parpol-parpol Islam pada pemilu legislatif 9 April lalu, sehingga dapat menyebabkan pincangnya posisi tawar (bargaining politic) partai, jika parpol-parpol Islam nekad berjalan sendiri-sendiri di medan politik seperti sekarang ini. Namun, dengan digulirkannya wacana “Poros Tengah Jilid II” atau dengan nama lain (usulan) “Koalisi Indonesia Raya” oleh Lima parpol Islam dan sejumlah utusan ormas Islam pada 17 April 2014 lalu di daerah Cikini, Jakarta Pusat, membuat publik terperanjat heran! Meskipun belum dihasilkan kemufakatan dari pertemuan tersebut, publik tetap membariskan sederet tanda tanya seperti:

Masih relevankah pengerahan kekuatan politik “Poros Tengah” di masa sekarang?
Mampukah parpol-parpol Islam menyeragamkan kepentingannya demi satu tujuan?
Berhasilkah parpol-parpol Islam memadukan berbagai rupa ideologi kepartaiannya ke dalam satu koridor (platform) politik?

Pertanyaan-pertanyaan demikian memang menggelitik rasa penasaran. Kalaulah posisi tawar (bargaining politic) parpol Islam telah meluntur, adapun faktor-faktor penyebabnya dikarenakan:

1) Meredupnya ideologi kepartaian parpol Islam, sehingga sering memicu konflik ditubuh parpol itu sendiri;

2) Tereduksinya fungsi dan peran dari parpol Islam menjadi sekadar “angkot” politik bagi kader-kader oportunis;

3) Miskinnya figur berkapabilitas layak jual dengan tingkat elektabilitas tinggi dari parpol Islam;

4) Kurang mumpuninya kapasitas manajerial kader-kader parpol Islam ketika turun ke masyarakat;

5) Terjadinya kapitalisasi politik di dalam tubuh parpol Islam, yang menyebabkan tidak selektifnya proses kaderisasi parpol.


Menganalisis sebab-sebab potensial tersebut. Maka, merupakan uji mental bagi parpol-parpol Islam dewasa ini, supaya handal dalam meramu strategi politik dengan kemampuan mengolah dan memecahkan masalah secara konstruktif dan komprehensif. Karena, jika hanya bermodalkan embel-embel "Islam" saja, tidaklah cukup!


Solusi
Kunci pembukanya adalah koalisi parpol Islam haruslah mampu menyatukan komitmen bersama rakyat demi tercapainya kemaslahatan bersama. Agar, jangkauan cita-cita politik rakyat lebih terarah dan terukur. Jangan lagi rakyat ditabur muslihat-muslihat politik demi kepentingan segelintir orang dan / atau kelompok. Misalnya saja kisah “Poros Tengah Jilid I” yang hanya dijadikan senjata untuk menekuk lawan politik tertentu. Kehadirannya pada waktu itu, tak mencipratkan manfaat bagi rakyat. Jangan pula rakyat dimarjinalkan secara politik. Koalisi parpol Islam harus mampu menggugah kesadaran rakyat untuk sadar politik. Menanamkan pendidikan politik kepada rakyat secara sehat dan benar. Handal menjadi motor penggerak dalam mengayuh roda perubahan. Hingga pada gilirannya nanti, rakyat akan secara sukarela mendukung gerakan politik dari parpol-parpol Islam.

Contohlah Masyumi sebagai generasi pendahulu. Partai yang didirikan melalui Kongres Umat Islam pada tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta, pernah menjadi salah satu parpol perkasa di masa Orde Lama. Sepak terjang dan kepiawaiannya dalam berpolitik patut diacungi jempol. Masyumi menjadi partai untuk umat Islam dengan tujuan mengakomodir suara umat Islam dibidang politik, dan sukses menduduki peringkat kedua pada pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955. Masyumi juga dikenal sebagai partai yang melahirkan tokoh-tokoh Islam termahsyur seperti: H. Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab disapa Buya Hamka, Muhammad Natsir, Mr. Mohammad Roem, Muhammad Isa Anshari, Hasyim Asy’arie, dan sederet tokoh Islam lainnya yang berperan dalam membangun Indonesia di masa awal kemerdekaan.

Singkatnya, Masyumi berhasil menghidupkan ideologi kepartaiannya, sehingga mampu melahirkan kader-kader unggul yang disegani kawan dan lawan. Tegas dan teguh dalam memegang prinsip perjuangan partai. Meskipun karena hal itulah, Presiden Soekarno membubarkan Masyumi melalui Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960, oleh karena beberapa tokohnya yang dicurigai terlibat di dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Belajar dari kegemilangan Masyumi, sudah seharusnya parpol Islam masa kini dapat meneruskan estafet pergerakan dari partai yang pernah menjadi motor perjuangan umat islam di masa Orde Lama tersebut. Menerapkan metode pengkaderan militan ideologis, guna melahirkan tokoh-tokoh Islam berkapabilitas unggul dan pancasilais.

Pada jangka pendek, jika koalisi parpol Islam ingin memenangkan Pilpres pada 9 Juli mendatang, koalisi haruslah mampu mengusung kandidat (capres) ber-elektabilitas (minimal) setara dengan nama-nama kandidat capres potensial menurut berbagai lembaga survei. Karena dua nama kandidat capres yang silih berganti menempati urutan satu dan dua setiap diadakannya survei berjudul: “siapakah kandidat capres potensial?” Patut menjadi pesaing yang harus diperhitungkan. 

Dan pada jangka panjang, jika parpol-parpol Islam ingin bangkit menjadi parpol yang dipercaya lagi oleh rakyat, dan berkeinginan kuat mengulangi kesuksesan di masa lalu, mulailah berbenah dari sekarang, di tahun 2014 ini. Tetapi, jika parpol-parpol Islam enggan berbenah, bahkan egois untuk tidak peduli mengevaluasi diri. Maka, selamat tersandera menjadi partai Imajiner!

Sejatinya Koalisi Parpol Islam bukanlah wujud dari oligarkisme partai politik, melainkan representasi dari koalisi rakyat atau umat Islam itu sendiri di dalam ruang demokrasi. Dan jika koalisi Parpol Islam tak mampu menjadi demikian diharapkan. Lantas, dimanakah koalisi rakyat itu?!
Share this post :
Comments
0 Comments

Post a Comment

 

Copyright © 2011-2017. BANGKA BELITUNG KREATIF