Dahulu kala, sebelum adanya motor, mobil, atau trem, orang selalu
menggunakan perahu atau kapal untuk berkunjung ke kampung-kampung yang
berada di pinggir sungai besar atau kecil, seperti Kotakapur,
Kotawaringin, Bangkakota, Kotapanji, Bakung, Jeruk, dan Menareh.
Kemudian muncul kampung-kampung kecil di pedalaman mengikuti pola
pertanian ladang berpindah-pindah. Antar kampung pedalaman itu
dihubungkan jalan setapak.
Sejak
tambang timah dibuka, muncul pangkal-pangkal baru yang berada di pinggir
sungai dan pantai, seperti Pangkal Layang, Pangkal Liat dan Pangkal
Pinang. Untuk mempermudah transportasi darat, dibukalah jalan-jalan
kecil yang menghubungkan lokasi tambang timah dengan pangkal timah.
Perlawanan Depati Amir tahun 1848-1850 mendorong pemerintah Hindia
Belanda membuat kebijakan membangun jalan permanen yang menghubungkan
ibukota Karesidenan Muntok - dengan ibukota onderafdeling tempat asisten
residen dan adminitratur tambang timah berada.
Selain itu
mewajibkan penduduk Bangka membangun perkampungan baru di pinggir jalan
tersebut. Kampung-kampung tua di pedalaman mulai ditinggalkan dan
berdirilah kampung-kampung besar seperti saat ini.
Keberadaan
kampung ini yang menompang sistem pos dan sistem transportasi para
pejabat Hindia Belanda yang selalu menggunakan tandu saat berkunjung ke
wilayah lain. Setiap 3 km, para pemikul tandu selalu diganti oleh
penduduk kampung yang dilewati.
Pengaturan para pemikul tandu ini dikoordinir oleh para Batin/Kepala Kampung.
Sumber : Alam Raya (Facebook)